Penjara, Kontrol dan Kampus

Minggu, 15 Mei 2011


SEBUAH PENJARA BERBENTUK KAMPUS

Saat ini universitas, institute, dan beberapa model sekolah tinggi telah mengambil peran yang sangat besar dalam monopoli perdagangan ilmu. Namun yang terjadi, perguruan tinggi hanya menjadi tembok pemisah yang sangat besar antara teori dan praktek. Nah, mari kita selidiki apa yang terjadi dikampus.
Setiap orang yang telah melalui jenjang sekolah menegah atas, hendaklah melanjutkan ke perguruan tinggi untuk memperdalam ilmu yang didapat di jenjang sebelumnya, maka tempat yang dituju adalah universitas dan sekolah tinggi sejenisnya.
 Jika kita membaca buku tetralogi laskar pelangi maka akan kita temukan dimana anak-anak indonesia berusaha didikte alam bawah sadarnya, bahwa mereka yang sukses adalah mereka yang telah bersekolah di luar negri dan mendapat pekerjaan yang layak dan gaji yang jauh dari cukup.
 Dambaan setiap anak muda adalah masuk dalam perguruan tinggi terkemuka dan terkenal. Jika kita melihat lebih teliti proses ini maka kita akan menemukan kampus menjadi sebuah alam baru untuk anak muda melatih bakat dan kemampuannya bahkan untuk sekedar meraih cita-cita yang dipaksakan oleh orang tuanya. Justru hal ini yang diinginkan kapitalisme dimana kita tidak perlu mempertanyakan kenapa kita dilahirkan di dunia ini, sisi filosofis dari manusia sendiri dihilangkan oleh kampus dengan mengajarkan ilmu sedemikian rupa dengan seteknis-teknisnya. Inilah yang nyatanya terjadi saat ini, Fakultas Sastra hanya diajarkan bagaimana mengkritik karya sastra. Fakultas Teknik hanya mengajarkan bagaimana membuat teknologi yang baru, atau Fakultas Sospol yang mengajarkan bagaimana menjadi politisi yang praktis, tanpa mempertanyakan mengapa kita mesti berbuat ini dan itu.
Universitas dan sejenisnya menarik akar kecerdasan manusia dari alamnya, sehingga yang ada hanya pengetahuan yang kosong dari realitasnya. Tujuan setiap ilmu dan pengetahuan adalah untuk mempermudah kehidupan manusia. Setidaknya ini tujuan ilmu pengetahuan. Yang terjadi saat ini, kampus hanyalah pabrik reproduksi kesadaran palsu sepalsu-palsunya. Kesadaran kampus ialah kesadaran yang tidak pernah menemukan akar materialnya.
Hal ini yang membuat kampus hanya menjadi ruang bagi pengalienasian manusia, ruang dimana setiap mahasiswa hanya berproduksi kesadaran-kesadaran palsu. Kesadaran mahasiswa teknik dan mahasiswa lainnya adalah kesadaran kerja tiap hari dalam hidupnya hanya untuk memproduksi nilai lebih bagi kapitalisme.  
Tujuan setiap manusia adalah menjadi bebas dan untuk kebebasan, manusia haruslah mampu menjadi tuan bagi dirinya sendiri, dalam artian manusia haruslah mampu menciptakan kebutuhannya sendiri, namun apa yang terjadi jika ciptaan manusia bukan untuk manusia yang mencipta melainkan untuk mereka yang tidak mencipta ? Inilah yang berusaha dijawab Karl Marx dalam The Manuscript Economic and Philosophical, Marx mengajukan argumen,... untuk hal ini ialah setiap manusia hanya akan menjadi manusia yang tidak utuh karena kebanyakan manusia hanya meminjam eksistensi manusia lainnya yang mencipta. Siapa yang mencipta dan siapa yang meminjam ciptaan? Mereka yang mencipta adalah buruh dan mereka yang tidak mencipta adalah para konsumen.

 REPRODUKSI KAPITALISME DALAM KAMPUS
Hampir tidak ada di dunia ini barang-barang yang diciptakan tidak melalui keahlian buruh. “Coba periksa dalam dirimu apa yang tidak diciptakan oleh buruh.” Untuk menciptakan barang yang baik adalah dengan menciptakan tenaga kerja yang handal dan teknologi yang baik. Untuk mendapatkan semuanya itu ialah dengan menciptakan manusia yang siap pakai untuk bekerja di perusahaan. Kampus menyediakan semuanya, tenaga kerja yang handal, manusia yang mampu menciptakan teknologi dan manusia yang mampu menjalankan teknologi.
Tujuan universitas adalah menciptakan buruh, baik buruh kasar maupun buruh yang memproduksi alat-alat teknologi baru. Universitas di bentuk sedemikian rupa untuk menciptakan buruh yang handal. Namun kenapa kapitalis mesti menciptakan buruh yang handal? Jawabannya sangat sederhana yaitu menciptakan barang yang berkualitas dan efisiensi bahan baku, bahan baku yang digunakan untuk berproduksi, coba bayangkan jika sebuah perusahaan dijalankan dengan orang orang yang tidak berkompeten maka yang didapat oleh tuan kapitalis adalah rugi. Makanya dibutuhkan tenaga kerja yang handal dan teknologi yang tinggi untuk menciptakan barang yang mampu diefisiensi dengan baik. Investasi yang baik bagi kapitalis adalah mempunyai buruh yang baik dan teknologi yang canggih paling tidak ini ajaran Adam Smith yang masih dipakai hingga saat ini dan sekali lagi kampus menyediakan segalanya bagi kapitalisme.
Kampus tidak lebih dari sebuah penjara moral bagi kapitalisme. Moral kapitalisme adalah mendapatkan tenaga kerja yang bebas dan secara langsung menawarkan dirinya di pasar tenaga kerja. Jika penjara digunakan untuk menciptakan manusia yang patuh bagi negara, maka kampus dibentuk untuk menciptakan manusia yang patuh bagi kapitalis. Logika kedua penjara ini sama saja yaitu menciptakan manusia yang patuh. Bagai binatang, manusia tidak lebih dari seekor kerbau. “Saat ini penjara yang paling bagus adalah kampus” namun mengapa makin banyak manusia yang mendaftar di kampus? Bukankah kampus hanya mengantar pada kesesatan dan penghisapan ?

Panoptikon Sebagai Militer Baru

Sebagaimana yang dipaparkan di atas bahwa kampus adalah sebuah penjara untuk mencapai sebuah kepatuhan bagi kekuasaan. Namun uraian yang singkat akan menciptakan pertanyaan baru dan pertanyaan ini akan saya mulai dengan sebuah kegelisahan yang sederhana dan banyak ditemukan dalam kehidupan kita. Kita sering mengeluh, mengapa orang-orang yang kehidupannya dihisap dan ditindas tidak mau melawan padahal mereka sendiri tau bahwa mereka ditindas dan dihisap. Mengapa mereka tidak bangkit dan melawan semua ini dan mengubah keadaan?”.
Kita bisa menyusun secara rapi fakta-fakta sosial yang terjadi dan menginventarisir semua yang terjadi mengenai keluhan di atas. Coba kita lihat di lingkungan mahasiswa (kampus) misalnya, di banyak kelas seorang mahasiswa biasa mengeluh mengenai dosen yang terlalu otoriter dan tidak objektif memberikan nilai namun apakah mereka berani menyuarakan keluhan mereka, setidaknya berdialog, mungkin juga dengan aksi demonstrasi. Keluhan mereka hanya berakhir dalam diskusi kecil, kadang cacian, kadang makian, dan kadang juga menyumpahi dosen tersebut. Begitupun lembaga kemahasiswaan hanya berakhir dalam keluhan melihat apa yang terjadi dan menimpa kehidupan mereka. Kenaikan biaya SPP, droup out, dan keluhan dari mahasiswa lainnya. Semuanya berakhir dengan salah menyalahkan antara mahasiswa dan cacian untuk kebijakan yang menimpa mereka.
 Berapa banyak orang yang mengeluhkan kenaikan BBM dan berapa banyak orang yang tidak bereaksi mengenai kenaikan BBM, hampir tiap mahasiswa tidak menginginkan kenaikan SPP dan berapa banyak dari mahasiswa yang menolak kenaikan SPP, berapa banyak buruh yang tidak menginginkan penurunan upah dan berapa banyak pula yang bergerak unutk mencegah kenaikan upah, Berapa banyak masalah yang mengintai dan menyerang dan berapa banyak pula yang menyerang balik ancaman itu?
Para mahasiswa mungkin orang yang paling bodoh, mengetahui apa yang terjadi namun tidak mengetahui apa yang akan dilakukan unutk menyelesaikan masalah ini. Mahasiswa tidak bekerja langsung menciptakan nilai lebih bahkan tidak punya orang yang mesti dihidupi dan tiap saat bergumul dengan banyak buku-buku.
 Namun mengapa ia tidak melawan? maka sampailah kita pada pertanyaan yang buntu dan rancu “orang orang sadar menjadi korban tetapi mereka diam tak bersuara dan tidak mampu berbuat apa-apa.” Mengapa fakta yang janggal dan aneh ini terjadi di berbagai tempat dan kondisi yang berbeda dan tetap ada dari dulu hingga sekarang?
Hal ini mungkin pernah kita alami bersama-sama baik yang menyangkut masalah bersama atau masalah social. Kita akan bertanya mengapa hal ini terjadi? Mengapa orang orang tidak melawan? Bagaimana membuat semua orang-orang sadar bahwa dunia saat ini sedang tidak baik baik saja?.
Pasti ada jawaban mengenai semua ini dan pertanyaan saya ini akan saya gunakan untuk membedah masyarakat yang mengaku masyarakat yang intelektual yaitu masyarakat kampus.
Masyarakat kampus adalah masyarakat yang paling menarik. Ia bergumul dengan teori-teori namun menjadi orang yang paling tertindas. Seorang filsuf inggris Jeremy Bentham mengajukan sebuah proposal mengenai konsep penjara modern abad ke 19 yang diberi nama panoptikon inti dari konsep ini adalah agar para tahanan merasa diawasi oleh penjaga walaupun pengawasan sudah tidak berjalan. Artinya para tahanan tidak mampu saling melihat dengan tahanan lainnya dan pengawas mampu melihat tahanan lainnya. Dan menciptakan rasa was was terus menerus meskipun waktu penjagaan telah berlalu.
Konsep panoptikon ini yang diadaptasikan oleh Michel Foucault untuk menggambarkan dunia paska moderen, ia menyebutnya panopticism sebagai sebuah model dari penerapan teknologi disiplin, baik metode maupun saran-sarannya. Panoptisisme dapat disadari ataupun tidak oleh warganya. Pada dasarnya panoptisisme adalah penerapan sebuah mode aturan dan artsitektur yang dapat mengontrol masyarakatnya baik itu oleh institusi social, pemerintah dll.
Panoptikon dalam sejarahnya ialah penggusuran terhadap orang-orang kusta dan mengalami penyakit yang menjijikkan.
Dalam hal ini kita dapat melihat bagaimana panoptikon menjarah kebebasan tiap orang. Jika panoptikon menjelma dalam aturan dan artsitektur maka bagaimana panoptikon menjelma di dalam kampus yang dikenal otonom?.
Dalam  buku Diciplin and Punishment, Foucoult mengamati suatu kota yang terjangkit oleh penyakit pes dan kusta. Kota yang terjangkit kusta mesti memberlakukan pengisolasian dan pembagian spasial bagi penderita untuk memasuki dan meninggalkan kota tersebut, dengan ancaman hukuman bagi yang melanggarnya.
Setiap penderita kusta diisolasi untuk mencegah penularan penyakit ini. Para petugas menjadi pengawas yang mengawasi setiap gerak-gerik dari penderita kusta di setiap penjuru kota, Setiap hari sindico atau pengawas berkeliling ke setiap rumah kusta. Mencatat nama, jenis kelamin, dan kesehatannya.
Data dari tiap catatan ini diserahkan ke dokter ataupun para hakim yang akan mengunjungi mereka. Identitas orang-orang ini dicatat dengan permanen dan digunakan untuk menciptakan ketertiban bagi setiap penderita kusta dan pes, dan hal ini dilegitimasi oleh masyarakat oleh moralitas baru yaitu moralitas penyakit.
Panoptikon dan Kampus

Bentuk panoptikon ini menjadi lebih modern sedemikian rupa dengan perkembangan historisnya. Namun apakah ini mampu menjawab mengenai kenapa mahasiswa tidak melawan? Jika kita mengadaptasikan panoptisisme ini kedalam dunia kampus maka kita akan mendapati pada tahun 1978 disaat peraturan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) diterapkan.
Dalam peraturan NKK/BKK kita mendapati sebuah pembentukan sebuah ruang baru yaitu ruang kemahasiswaan dan membentuk aturan koordinasi yaitu PR III bidang kemahasiswaan. Pembentukan ruang kemahasiswaan dalam artian lembaga kemahasiswaan secara langsung membentuk ruang yang tersistematis, setiap kegiatan mahasiswa diayomi oleh lembaga kemahasiswaan sehingga semua kegiatan mahsiswa adalah kegiatan lembaga kemahasiswaan dan lembaga kemahasiswaan hanya akan bisa melakukan kegiatannya jika melalui rekomendasi PR III taupun PD III.
Secara langsung semua kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa dikontrol oleh mekanisme rekomendasi. Setiap kegiatan yang tidak direstui tidak akan mendapat rekomendasi, tanpa rekomendasi berarti tidak ada kegiatan kemahasiswaan. Setiap tindakan yang dilakukan oleh mahasiswa dikontrol oleh berbagai aturan. Mahasiswa yang tidak mengikuti aturan akan berhadapan dengan hukum , setiap tindakan diatur oleh rektorat, ruang-ruang lembaga kemahasiswaan dibentuk tersentral untuk mudah diatur dan diawasi.
 Semua gerak-gerik mahasiswa diawasi oleh sindico (satpam) akhirnya secara tidak sadar mahasiswa dikontrol untuk tidak melakukan tidakan yang tidak diinginkan yang tidak sesuai dengan moral yang ditetapkan oleh kampus.
Dibentuknya lembaga kemahasiswaan pada dasarnya adalah untuk dapat dikontrol oleh kampus yang secara langsung adalah perpanjangan kekuasaan. Pembentukan ruang panoptikon dapat kita lihat dari dibentuknya PR III yang sebelumnya tidak pernah dikenal, diciptakannya ruang lembaga kemahasiswaan adalah sebuah contoh panoptikon modern. Setiap orang dari kita menjadi orang yang sangat was-was dengan kehidupan sehingga setiap orang yang kita temui menjadi sindico yang akan mengingatkan kita mengenai aturan-aturan.
Di dalam kelas aturan-aturan moral pun dijalankan, dosen menjadi sebuah otoritas keilmuan yang menetapkan moralitas yang disentaralkan oleh dosen, pengusiran dari kelas, pengurangan nilai dan ancaman lainnya. Panoptikon kampus jauh lebih kompleks dibanding panoptikon milik rancangan Jeremy Bentham. Jika dalam panoptikon klasik yang mengatur adalah dokter, pengawas, hakim, dan pastor. Maka dalam panoptikon kampus yang mengatur adalah dosen, administrasi kampus, satpam, rektor, mahasiswa sendiri dan masyarakat umum. Mahasiswa tidak lebih dari manusia yang sakit yang mesti dinetralisir.
 Dosen adalah dokter bagi penyakit mahasiswa, administrasi kampus adalah mekanisme pengawasan untuk mencegah menularnya penyakit ke masyarakat, satpam menjadi sindico yang mengawasi para penderita penyakit, rektor menjadi pemutus dari sembuh tidaknya para mahasiswa yang akan diterjunkan ke masyarakat, mahasiswa dan masyarakat umum adalah mereka yang akan mengevaluasi apakah mahasiswa yang lulus betul betul telah sembuh dari penyakit.
Jika diamati para penderita kusta dijauhi oleh masyarakat dengan alasan moralitas penyakit (new morality ) sedangkan mahasiswa di jauhi dengan alasan tak bermoral dan penuh dengan perkelahian, dengan kata lain panoptikon kampus lebih mengacu pada moralitas budaya--sedangkan kita tahu sendiri budaya saat ini dimanfaatkan oleh kekuasaan--.
Apa penyakit dari manusia menurut kekuasaan? Penyakitnya adalah penyakit kebebasan dan pembenrontakan. Penyakit ini secara perlahan akan menyerang kekuasaan Negara. Sehingga semua penyakit masyarakat mesti melalui karantina dan kampus adalah rumah karantina bagi penyakit ini. Jika alasan rumah karantina adalah menghilangkan penyakit pes dan kusta sembari menyingkirkan orang-orang miskin, penderita kusta dari kota untuk menciptakan kota yang teratur maka rumah karantina manusia modern (kampus) bertujuan mengkarantina hasrat kebebasan dan pemberontakan untuk menciptakan manusia yang teratur dan terkontrol. Itulah mengapa kampus begitu banyak tersebar seperti layaknya rumah kusta diabad ke 16.

0 komentar:

Posting Komentar