Perempuan dan Abjeksi

Senin, 05 April 2010

Tulisan ini masih berbentuk draft. Oleh karenanya, tidak layak dikutip.


Alwy Rachman
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin

Ketika seorang anak terlahir ke dunia, ia akan mejalani hidupnya melalui interaksi intensif dengan seorang ibu. Kehidupan mulai dibangun secara sepotong-sepotong dengan rentang waktu yang panjang. Kemampuan disusun secara sepenggal demi sepenggal di atas realitas tak bertepi, realitas yang berserakan luas di hadapan kehidupan. Dunia lambang dan dunia bahasa serta dunia makna diekspresikan dan dibahasakan tanpa tatabahasa oleh seorang ibu dan kemudian disodorkan kepada sang anak di titik-jalan awal kehidupan. Aneh dan unik, proses interaksi dan proses komunikasi antar ibu-anak adalah proses tanpa tatanan, tanpa tatabahasa, dan nirkekerasan. Segala sesuatunya berjalan tanpa aturan dan tanpa tatanan. Yang ada adalah empati dan kesabaran untuk sebuah penyesuaian antara ibu dan anak, antara “yang tahu” dan “yang belum tahu”, antara yang “bisa berbahasa dan tak bisa berbahasa”, antara “yang tangguh” dan “yang lemah”, antara “yang berdaya” dan “yang tak berdaya”, dan antara “pemilik pengalaman” dan “pemula pengalaman.” Dunia seperti inilah yang disebut dengan dunia “nature”, dunia yang menjadi penanda awal kehidupan yang diprakarsai, diperankan, dan dilakonkan oleh perempuan. Dunia yang terbangun di atas pemaknaan tanpa melalui tatanan, tanpa tatabahasa, tanpa kekuasaan, dan tanpa pamrih.

Akan tetapi, dunia ini adalah dunia yang ringkas dan terampas, dunia yang akan tergusur dari pemiliknya, berpindang dari tangan ibu ke tangan bapak. Dunia yang akan direbut oleh tatanan patriarki, dunia yang akan digeser dari “tanpa tatanan” menjadi dunia “yang bertata”, dari “dunia yang alami” (nature) menjadi “dunia yang terstruktur” (culture) menurut kepentingan nilai-nilai kebapakan. Dalam rentang waktu dua tiga tahun, kepemilikan atas sang anak akan berpindah, dari tangan ibu ke tangan bapak, dari tangan “yang bukan pemilik kekuasaan” ke tangan “pemilik kekuasaan”. Pergeseran dan perpindahan inilah yang disebut dengan abjeksi. Oleh para sarjana psikolog dan sarjana linguistik, pergeseran ini adalah penyerahan “dunia perempuan” yang diikuti oleh rasa sakit luar biasa ke “dunia lelaki”. Oleh para akhli jender, di sinilah persoalan dan ketimpangan jender dimulai.

***

Ketika keluar dari dunia abjektif, terutama bagi perempuan, ia sesungguhnya bergerak ke dunia yang secara objektif terstruktur sedemikian rupa menurut kepentingan dan nilai tatanan. Ia juga, dengan demikian, bergerak ke dunia rasionalitas yang tak selalu berpihak kepadanya. Struktur sosial dan rasionalitas tatanan patriarki menjadi arena kontestasi (persaingan) di antara lelaki yang kemudian menjadikan tubuh perempuan sebagai wadah untuk mengekspresikan konflik dan kekerasan. Itu pula sebabnya, Irrigaray, seorang sarjana feminis, beranggapan bahwa struktur sosial dan rasionalitas tatanan adalah dua wilayah yang dapat ditelusuri sebagai sumber-sumber konflik dan kekerasan.

Melalui susunan imajinatif rasional, Irrigaray menyusun piramida konflik dan kekerasan yang terdiri atas ranah biologi, ranah sosial dan ranah simbol. Bagi Irrigaray, di ranah biologi, entitas perempuan dan lelaki berada dalam keadaan setara. State of equity (hakikat kesetaraan) dicerna sebagai bagian dari hukum alam (nature) yang terberikan secara egaliter dan saling berhubungan secara komplementer. Oleh karenanya, perempuan bukan sebagai “pesaing lelaki” sebagaimana lelaki bukan sebagai “pesaing perempuan”. Ranah biologi, dengan demikian, adalah ranah ilahiah yang tidak dapat diingkari dan tidak dapat ditolak. Keanekaragaman biologi adalah dasar-dasar yang menjadi pilar untuk melanjutkan kehidupan. Pengingkaran terhadap semua ini sama artinya dengan menciptakan kematian.

Tidak sama dengan ranah biologi, Irrigaray kemudian menilai bahwa ranah sosial justru yang problematik. Di ranah sosial ini, tatanan kebudayaan dibangun sebaai sandingan bagi tatanan sosial. Di ranah ini, dengan demikian, konflik yang seringkali dimanfestasikan dan diekspresikan ke dalam bentuk-bentuk kekerasan, dengan bermacam aspeknya, tak terhindarkan. Di ranah ini pula, mekanisme “pengutamaan” dan “pengingkaran” dijalankan, dan mekanisme “pengidolaan” serta “pembencian” difungsikan. Irrigaray menyodorkan bukti konseptual dan bukti konkret, bahwa di hampir semua kebudayaan, tubuh lelaki dipersepsi sebagai tubuh yang mewakili kualitas tuhan (the principle of god), sementara tubuh perempuan dianggap mewakili kualitas pemberontakan setan (the rebellion of syatan). Penelusuran terhadap bukti-bukti kekerasan yang muncul, mulai dari arena rumah tangga, arena budaya hingga ke arena perang, menunjukan bahwa energi dan akar kekerasan terhadap perempuan dimulai dari persepsi budaya seperti ini. Sama arahnya dengan Irriagaray, Anthony Giddens, seorang teorisi sosial, dengan jelas menegaskan budaya sesungguhnya dapat dianggap sebagai struktur-struktur penekan. Kerangka konseptual seperti ini dapat dipakai untuk mengenali konflik dan kekerasan terhadap perempuan dengan cara menganalisis kerja dan fungsi struktur-struktur tersebut.

Ranah simbol adalah ranah yang paling memelihara memori kolektif. Ranah simbol adalah ranah yang memadatkan nilai-nilai kekerasan, lalu disebar secara kolektif dan dipindahkan ke dalam ritus-ritus kebudayaan. Ritus-ritus kebudayaan, di banyak kebudayaan, seringkali memperlihatkan dengan telanjang bahwa simbol dipindahkan (ditransformasikan) ke tubuh perempuan. Dengan kata lain, tubuh perempuan dijadikan sebagai arena persaingan simbol lelaki yang berkuasa atas kebudayaan. Oleh karenanya, seorang perempuan yang dipersepsi sebagai “perempuan mulia”, adalah perempuan yang harus merelakan ruas jari tangannya untuk dipenggal atas nama kebudayaan dan atas nama kemuliaan.



***



Menelusuri akar-akar kekerasan terhadap perempuan dan cara kekerasan seperti itu memanifestasikan dirinya melalui struktur-struktur kebudayaan sesungguhnya memerlukan pengetahuan dan perspektif teoretik. Tanpa pengetahuan dan perspektif, kekerasan terhadap perempuan hanya dapat dimengerti sebagai peristiwa tunggal dan hadir secara parsial serta tidak berhubungan dengan fungsi dan kerja struktur. Dalam kaitan itu, pandangan dan posisi akademis Anthony Giddens penting diadopsi.

Budaya, sebagai suatu tradisi, menurut Anthony Giddens, dipelihara melalui lima aspek, yaitu: memori kolektif (collective memory), kebenaran formulaik (formulaic truth), ritus (rite), tokoh (actor), dan Nilai (value). Memori kolektif biasanya berfungsi untuk mengorganisasikan kepentingan masa lalu, sementara kebenaran formulaik adalah kebenaran yang diperlihara sesuai kepentingan budaya. Ritus berfungsi untuk menstabilisasi tatanan yang dipertahankan, sementara tokoh adalah orang-orang yang bekerja menjaga tatanan. Nilai budaya akan tercermin dari rangkaian dari apa yang disebutkan di atas. Oleh karenanya, penting untuk menelusuri akar-akar kekerasan aspek-aspek tradisi sebagaimana apa yang dipikirkan oleh Giddens.